Merilis sebuah bisnis baru baik itu startup teknologi, sebuah bisnis kecil, atau korporasi besar selalu kena atau justru melewatkan proposisi. Menurut formula lama, kita menulis sebuah rencana bisnis, melakukan pitching ke investor, membentuk sebuah tim, mengenalkan produk, dan mulai menjual sekeras mungkin. Kemudian, mungkin kita akan mengalami kemunduran yang fatal. Hal ini bukan masalah baru karena memang sebuah penelitian menunjukkan bahwa 75% startup gagal.
Namun, akhir-akhir ini kekuatan politik muncul, di mana dapat membuat proses untuk merintis sebuah perusahaan menjadi lebih minim risiko. Metode ini disebut ‘lean startup’ yang membantu eksperimen untuk menjabarkan rencana, feedback konsumen, dan desain berulang-ulang dari pengembangan ‘big design up front.’ Meskipun metode ini masih terhitung baru, konsepnya seperti ‘minimun viable product’ dan ‘pivoting’ sudah mengakar secara cepat di dunia startup dan sekolah bisnis juga sudah mulai mengadaptasi kurikulum mereka untuk bahan mengajar para muridnya.
Gerakan lean startup belum benar-benar jadi mainstream, dampaknya cukup terasa. Seiring dengan menyebarnya praktik metode ini, lean startup berubah menjadi kebijakan konvensional tentang kewirausahaan. Semua jenis usaha dicoba untuk dilakukan guna memperbaiki kesempatan untuk sukses dengan mengikuti prinsip dari gagal cepat dan terus lanjut belajar.
Dalam artikel ini, akan dijelaskan overview singkat tentang teknik lean startup dan bagaimana teknik tersebut berkembang. Yuk, terus simak sampai akhir.
Kesalahan dari Rencana Bisnis yang Sempurna
Berdasarkan kebijakan konvensional, hal pertama yang harus dilakukan oleh setiap founder adalah membuat rencana bisnis ― dokumen statik yang mendeskripsikan besarnya kesempatan, masalah yang diselesaikan, dan solusi yang dirumuskan melalui eksperimen. Biasanya hal tersebut termasuk prediksi lima tahun untuk pemasukan, profit, dan cash flow. Sebuah rencana bisnis pada dasarnya adalah latihan riset yang ditulis bahkan ketika bisnis belum mulai untuk membuat sebuah produk. Asumsinya adalah ada kemungkinan untuk menemukan sebuah bisnis yang paling tidak terpikirkan, sebelum Anda mengumpulkan dana dan mengeksekusi ide.
Setelah pengusaha dengan rencana bisnis yang meyakinkan memperoleh dana dari investor, maka mulailah mengembangkan produk. Developer menginvestasikan ribuan jam bersiap untuk launching produk. Hanya setelah membangun dan me-launching produk, percobaan bisnis tersebut akan mendapatkan feedback dari konsumen. Seringkali, baru setelah beberapa bulan pengembangan atau bahkan beberapa tahun, bisnis belajar pahitnya perjalanan bahwa konsumen tidak membutuhkan atau menginginkan kebanyakan dari fitur produk.
Buatlah Sketsa Hipotesis
Setiap komponen model bisnis memuat hipotesis-hipotesis yang butuh diuji seperti mitra kunci, aktivitas kunci, sumber daya utama, nilai proposisi, hubungan dengan konsumen, channel, segmen konsumen, biaya struktur, dan aliran revenue. Setelah beberapa dekade, ada tiga hal yang bisa dipelajari:
- Rencana bisnis jarang bertahan pertama kali kontak dengan konsumen.
- Tidak ada orang kecuali kapitalis yang membutuhkan rencana lima tahun untuk memprediksi ketidaktahuan. Bisa dibilang rencana ini hanyalah fiksi dan memimpikannya hanya akan membuang waktu.
- Startup bukanlah versi kecil dari perusahaan besar.
Salah satu perbedaan krusial adalah bahwa ketika perusahaan yang ada mengeksekusi model bisnis, startup masih sedang mencarinya. Perbedaan ini merupakan jantung dari pendekatan lean startup. Hal tersebut membentuk definisi startup: sebuah organisasi temporer yang didesain untuk mencari model bisnis yang repeatable dan scalable.
Metode lean startup mempunyai pinsip kunci yaitu daripada berbulan-bulan berkutat pada perencanaan dan riset, bisnis lebih baik menerima bahwa semua yang mereka punya di hari pertama adalah rangkaian hipotesis yang belum diuji. Jadi, daripada menulis rencana bisnis yang rumit, lebih baik founder meringkas hipotesis di sebuah framework yang disebut business model canvas, yaitu diagram berisi bagaimana perusahaan menciptakan value untuk diri mereka sendiri dan konsumen.
Dengarkan Konsumen
Selama pengembangan konsumen, startup mencari model bisnis yang cocok. Jika feedback konsumen mengungkap bahwa hipotesis bisnis salah, mereka antara melakukan revisi atau berputar ke hipotesis baru. Setelah sebuah model bisnis terbukti, startup lalu mulai eksekusi, membangun sebuah organisasi formal. Setiap tahap dari pengembangan konsumen akan berulang. Sebuah startup mungkin akan gagal beberapa kali sebelum menemukan pendekatan yang tepat.
- Founder menerjemahkan ide ke hipotesis model bisnis, menguji asumsi tentang kebutuhan konsumen, dan lalu menciptakan sebuah ‘minimun viable product’ untuk menawarkan solusi ke konsumen.
- Startup lanjut menguji semua hipotesis dan mencoba memvalidasi ketertarikan konsumen melalui pesanan awal atau penggunaan produk. Jika tidak ada ketertarikan, startup bisa merubah satu atau lebih hipotesis.
- Produk disaring untuk dijual. Menggunakan hipotesis yang sudah terbukti, startup membangun permintaan dengan menggiatkan pengeluaran marketing dan penjualan, dan meningkatkan bisnis.
- Transisi bisnis dari mode startup, dengan tim pengembangan konsumen mencari jawaban untuk solusi, ke departemen fungsional untuk mengeksekusi model tersebut.
Lean startup mempunyai satu komponen yang disebut agile dvelopment yang mulanya ada di industri software. Agile development bekerja beriringan dengan pengembangan konsumen. Agile development mengeleminasi buang-buang waktu dan sumber daya dengan mengembangkan produk dengan berulang dan bertahap. Itulah proses startup menciptakan ‘minimun viable produk’ yang mereka uji.
Pengembangan yang Responsif dan Cepat
Berlawanan dengan pengembangan produk secara tradisional, agile development membangun produk secara singkat, siklusnya berulang. Startup memproduksi ‘minimum viable product’ yang memuat fitur krusial saja untuk mengumpulkan feedback dari konsumen, lalu mulai lagi dengan ‘minimun viable product’ yang direvisi.
Apa yang Lean Startup Lakukan secara Berbeda
Founder dari lean startup tidak mulai dengan sebuah rencana bisnis, mereka mulai dengan mencari sebuah model bisnis. Hanya setelah putaran cepat eksperimen dan feedback mengungkap model yang cocok untuk diterapkan, lean founder fokus pada eksekusi.
Tingkat kegagalan startup yang lebih rendah dapat memperbaiki konsekuensi ekonomi. Saat ini pengaruh disrupsi, globalisasi, dan regulasi menjamu ekonomi di setiap negara. Industri yang sudah kokoh berdiri secara cepat runtuh dan banyak yang tidak bangkit lagi.
Di masa lalu, pertumbuhan angka startup dipengaruhi oleh lima faktor yang berkontribusi pada tingkat kegagalannya:
- Sangatlah mahal untuk mendapat konsumen pertama dan bahkan lebih mahal untuk membuat produk.
- Siklus pengembangan teknologi yang panjang.
- Keterbatasan jumlah orang yang mau menerima risiko awal penemuan atau bekerja di startup.
- Struktur industri modal ventura yang mana setiap firma butuh berinvestasi sejumlah besar uang pada startup punya kesempatan signifikan untuk bangkit kembali
- Konsentrasi ahli dalam membangun startup tidak banyak.
Pendekatan lean startup mengurangi dua kendala pertama dengan membantu usaha baru mengeluarkan produk yang benar-benar diinginkan konsumen, jauh lebih cepat dan murah daripada metode tradisional, dan mengurangi kendala ketiga dengan membuat risiko startup lebih minim.
Saat ini softaware open source seperti GitHub dan layanan cloud seperti Amazon Web Services (AWS) sudah memangkas biaya pengembangan software dari jutaan ke ribuan dolar. Startup perangkat keras tidak lagi harus membangun pabrik mereka sendiri karena manufaktur lepas sangat mudah untuk diakses. Saat ini benar-benar hal yang lumrah untuk menemukan perusahaan baru teknologi yang mempraktikan metode lean startup.
Lean startup tidak hanya untuk usaha baru teknologi saja. Perusahaan besar seperti General Electric dan Intuit sudah mulai mengimplementasikannya juga. Konsep lean startup menyediakan framework yang membantu membedakan yang baik dari yang buruk.