Akhir-akhir ini pasti Anda seringkali melihat istilah ‘quiet quitting’ berseliweran di internet. Jadi, mungkin sudah banyak di antara Anda yang cukup familiar dengan istilah tersebut. Memang istilah quiet quitting saat ini cukup booming sebagai sebuah istilah baru di dunia kerja. Istilah ini sedang banyak didiskusikan di berbagai macam portal dan media sosial; apa itu quiet quitting, sudah berapa lama dikenal istilah tersebut, apakah itu benar atau salah, dan sebagainya.
Namun, bagaimana seseorang menghadapi akibat dari quiet quitting di masa sekarang ini, terlebih dengan tenaga kerja generasi sekarang ini sama-sama mengutamakan pekerjaannya itu sendiri dan juga gigih berfokus pada kesehatan mental?
Setiap karyawan, setiap harinya bekerja, membuat keputusan-keputusan: Apakah mereka hanya berkeinginan untuk melakukan pekerjaan minimal yang dibutuhkan untuk tetap mempertahankan pekerjaan mereka? Atau apakah mereka berkeinginan untuk memberikan lebih banyak energi dan usaha mereka ke pekerjaan mereka? Pertanyaan dasar tersebutlah yang menjadi pertimbangan seseorang untuk akhirnya memutuskan melakukan quiet quitting. ‘Quiet quitter’ menolak pemikiran bahwa pekerjaan harus menjadi sebuah fokus sentral dari hidup mereka.
Mereka menentang ekspektasi dari memberikan seluruh yang mereka punya atau memberikan jam ekstra untuk pekerjaan. Mereka biasanya mengatakan ‘tidak’ terhadap permintaan yang melampaui batasan yang mereka pikir adalah deskripsi kerja dari posisi mereka.
Yuk, kita gali lebih dalam tentang quiet quitting supaya lebih paham lagi. Baca artikel ini sampai habis, ya.
Apa Itu Quiet Quitting?
Apa, sih, sebenarnya maksud istilah ‘quiet quitting’ yang booming akhir-akhir ini?
Quiet quitting adalah sebuah nama untuk perilaku yang sebenenarnya sudah lama kita kenal. Biasanya istilah ini lekat dengan pertanyaan seperti ‘apakah lingkungan kerja Anda merupakan tempat kerja di mana orang-orang ingin go-extra-mile.‘ Dari penelitian yang dilakukan menggunakan instrumen 360-degree, mengindikasikan bahwa quiet quitting biasanya perilaku dimana berkurangnya keinginan karyawan untuk bekerja lebih keras dan lebih kreatif, and juga lebih kepada kemampuan manajer untuk membangun hubungan dengan karyawan-karyawannya di mana diharapkan mereka tidak akan mengarah ke perilaku quiet quitting yang akhirnya benar-benar memutuskan untuk keluar dari pekerjaan.
Quiet quitting juga ditandai dengan berkurangnya performa kerja karyawan dan mereka lebih kepada sebuah pernyataan tentang bagaimana perasaan mereka terhadap pengalaman kerja mereka.
Hal-hal yang Harus Diperhatikan dari Quiet Quitting
1. Setiap orang mempersepsikan quiet quitting secara berbeda, ada yang mengatakan itu hanyalah ‘bekerja senyatanya’, dan lainnya berpendapat itu adalah ‘bekerja secara cukup’.
Bisa dibilang sebuah keinginan resign yang baik adalah penyesuaian dari seorang karyawan yang menyadari bahwa pekerjaan mereka tidak cukup memuaskan bagi mereka untuk memberikan atau meluangkan waktu lebih untuk pekerjaannya tersebut. Maka munculah quiet quitting ini.
Tanda-tandanya bisa seperti karyawan hanya memenuhi syarat bekerja mereka dan tidak melakukan hal lebih lainnya atau karyawan merasa tidak puas dengan pekerjaannya tapi tetap melakukannya. Jika seorang karyawan merasa pengalaman kerja mereka membantu mereka untuk bertumbuh tentu mereka bukanlah karyawan yang akan mengatakan mereka sedang melakukan quiet quitting. Mereka yang tidak merasa puas dan tidak berkembang adalah yang berpotensi akan melakukannya.
2. HR perlu tetap memperhatikan tren tenaga kerja lainnya selain quiet quitting, khususnya yang berkaitan dengan perasaan senang karyawan.
Sebagai pimpinan maupun HR, jika melihat tanda-tanda ada karyawan melakukan quiet quitting, sebaiknya memikirkan kembali pengalaman kerja karyawan mereka dan menanyai diri mereka sendiri ― Apakah itu cukup fleksibel, people-centric, dan mendukung karyawan untuk seimbang dalam menjalani hidup dan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya.
Apakah perusahaan terlalu fokus pada kehadiran di kantor adalah ukuran produktivitas? Atau sudahkan mengatur OKR dan KPI yang mengukur hasil dan output pekerjaan karyawan? Dan yang paling penting, apakah sudah bertanya ke karyawan tentang apa yang membuat mereka punya pengalaman kerja yang lebih baik untuk mereka sendiri dan juga perusahaan? Kalau ternyata benar terjadi ada karyawan yang melakukan quiet quitting, bisa jadi karyawan tersebut merasa tidak ‘didengar’ oleh manajer, pimpinan, dan perusahaan mereka bekerja.
3. Rasa ketidakpuasan diantara tenaga kerja sering terjadi dan menjadi sebuah tren global bukan hanya di kota spesifik saja.
Masa pandemi mendesak karyawan untuk memikirkan ulang prioritas mereka mengenai work-life balance dan apa yang mereka inginkan dari perusahaan. Dampaknya bisa seperti beberapa karyawan resign karena banyak yang melihat fleksibilitas sebagai sebuah hak.
Perusahaan yang bisa beradaptasi dengan permintaan para karyawan tersebut, bisa mulai mengangkat unsur fleksibilitas, seperti pendekatan ‘work in any way’ untuk mengelola karyawan ― mengijinkan mereka untuk bekerja bagaimana, kapan, dan di mana yang cocok dengan lifestyle mereka bisa jadi malah meningkatkan produktivitas dan retensi karyawan.
4. Tiga hal yang HR bisa lakukan untuk memastikan kebahagiaan dan produktivitas karyawannya.
Ambil kandidat dari seluruh penjuru area, tidak membatasi. Membuka peluang dengan pendekatan global hiring bisa memperluas penarikan talenta-talenta yang membantu untuk merekrut talenta terbaik.
Melepaskan norma-norma kuno tempat kerja yang dulu ada ketika masa pre-pandemi. Berikan fleksibilitas dan kepercayaan kepada karyawan untuk meningkatkan engagement dan kepuasan kerja.
Jangan merekrut kandidat yang cocok dengan budaya perusahaan, tapi malah justru merekrut mereka yang akan menambah value budaya perusahaan. Penelitian menunjukkan bahwa tim dengan latar belakang dan pemikiran yang berbeda-beda cenderung lebih sukses. Rekrutlah seseorang yang memberikan tantangan dan membantu perusahaan mengevaluasi status quo untuk menyalakan inovasi dan produktivitas.
Apakah ada solusi untuk quiet quitting?
Sebenarnya quiet quitting bukanlah hal baru. Itu hanya sebuah istilah yang akhirnya cukup viral dan menjadi sebuah istilah tren dari sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari pengalaman kerja dari semenjak dahulu dan akan ada seterusnya. Itu hanyalah realitas dari bagaimana seorang karyawan membangun sebuah tembok batasan.
Untuk banyak orang, ini bisa jadi sudah menjadi kebiasaannya, namun untuk yang lainnya ini merupakan sebuah reaksi dari burnout dan kekecewaan dengan pimpinan bahwa pengalaman kerja mereka kembali ke keadaan sedia kala sama seperti sebelum terjadi pandemi.
Perlu diingat bahwa segalanya berubah ketika mereka berpindah dari work-life balance ke work-life integration. HR akan membutuhkan untuk terus menguatkan engagement karyawan dengan mengupayakan tenaga kerja yang produktif dan bahagia.
Menerapkan strategi pendekatan tertentu, misalnya ‘work in any way’ bisa memberikan perusahaan sebuah sisi kompetitif; tidak hanya menarik talenta saja tetapi juga memperjuangkan tantangan engagement karyawan dan mempertahankan mereka. Perusahaan yang terus menolak untuk mendengarkan karyawan mereka akan terus berperang dengan masalah ‘quiet quitting’ ini.
Untuk pengelolaan karyawan perusahaan Anda, percayakan pada Worxspace. Aplikasi chat karyawan yang punya fungsi sebagai smart personalia ini akan sangat membantu dan memudahkan perusahaan dalam mengelola karyawan. Terlebih dengan menggunakan aplikasi ini, membantu untuk memisahkan chat urusan pekerjaan dan pribadi sehingga mendukung untuk mewujudkan work-life balance dan integration. Pelajari selengkapnya di https://worxspace.id/